Senin, 15 Juni 2009

Prospek Obat Herbal

Prospek pengembangan tanaman obat sangat cerah pada masa mendatang ditinjau dari pelbagai faktor penyokong. Antara faktor penyokongnya sebagai berikut: tersedianya sumber kekayaan alam Indonesia dengan keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia, sejarah pengobatan tradisional yang telah dikenal lama oleh nenek moyang dan diamalkan secara turun temurun sehingga menjadi warisan budaya bangsa, isu global “back to nature” sehingga meningkatkan pasar produk herbal termasuk Indonesia, krisis moneter menyebabkan pengobatan tradisional menjadi pilihan utama bagi sebagian besar masyarakat dan kebijakan pemerintah berupa pelbagai peraturan perundangan yang menunjukkan perhatian serius bagi pengembangan tanaman obat.

Pengembangan tanaman obat memiliki arti yang sangat luas, tidak hanya sebagai sumber bahan baku obat herbal (agromedisin), namun lebih dari itu tanaman obat dapat difungsikan sebagai agrowisata, laboratorium botani (taman botani), sumber plasma nutfah, jalur kawasan hijau, komoditi ekspor nonmigas, dan sebagai sumber pendapatan masyarakat tempatan. Melihat begitu besarnya potensi yang dimiliki oleh tanaman obat, hal ini menjadi peluang bagi setiap daerah untuk menjadikan tanaman obat sebagai salah satu prioritas dalam pembangunan sektor ekonomi, sosial dan budaya.

Penggunaan "obat tradisional" serta pengobatan tradisional telah lama dipraktekkan di seluruh dunia, baik di Negara yang sedang berkembang maupun di Negara yang telah maju. Sejarah kedokteran telah menunjukkan bahwa sebagian obat tradisional ini ternyata merupakan cikal bakal dari obat modern. Sebagai contoh adalah kina dan reserpin yang sejak dahulu telah dipakai sebagai obat tradisional untuk penyakit-penyakit tertentu, tapi dosisnya belum dapat ditentukan. Kemudian dengan cara pemurnian dapat ditemukan substansi ysng efektif sehingga takaran dan khasiatnya dapat diukur. Fakta menunjukkan bahwa upaya kesehatan tradisional telah dikenal dari dulu kala dan dilaksanakan jauh sebelum pelayanan kesehatan formal dengan obat-obat modern. Sampai saat ini masyarakat masih mengakui dan memanfaatkan pelayanan dengan obat tradisional ini. Oleh karena itu dalam rangka peningkatan dan pemerataan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, upaya kesehatan tradisional dengan obat tradisionalnya perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya, dibina dan dikembangkan agar lebih berdaya guna dan berhasil guna.

Menurut PERMENKES RI No. 246/Menkes/Per/V/1990, yang dimaksud dengan obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau campuran dari bahan-bahan tersebut, yang secara tradisional telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Obat tradisional tersedia dalam berbagai bentuk yang dapat diminum, ditempelkan pada permukaan kulit atau mukosa. Tetapi tidak tersedia dalam bentuk suntikan atau aerosol. Dalam bentuk sediaan oral obat tradisional ini dapat berbentuk bubuk yang menyerupai obat moderen seperti kapsul dan tablet. Ketersediaan obat tradisional dalam berbagai bentuk ini perlu dibina dan diawasi oleh pemerintah supaya tidak terjadi pencemaran dengan bakteri atau bahan alami lainnya. Disamping itu pula perlu diwaspadai pencampuran obat tradisional dengan obat-obat moderen. Hal yang terakhir ini perlu dipikirkan bagaimana cara pengawasan dengan sebaik-baiknya.

Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa memiliki lebih kurang 30.000 spesies tumbuhan dan 940 spesies diantaranya termasuk tumbuhan berkhasiat (180 spesies telah dimanfaatkan oleh industri jamu tradisional) merupakan potensi pasar obat herbal dan fitofarmaka.

Penggunaan bahan alam sebagai obat tradisional di Indonesia telah dilakukan oleh nenek moyang kita sejak berabad-abad yang lalu terbukti dari adanya naskah lama pada daun lontar husodo (Jawa), Usada (Bali), lontarak pabbura (Sulawesi Selatan), dokumen serat primbon Jampi, serat racikan Boreh Wulang nDalem dan relief candi Borobudur yang menggambarkan orang yang sedang meracik obat (jamu) dengan tumbuhan sebagai bahan bakunya. Obat herbal telah diterima secara luas di negara berkembang dan negra maju. Menurut WHO (badan kesehatan dunia) hingga 65 % dari penduduk negara maju dan 80 % penduduk dari negara berkembang telah menggunakan obat herbal. Faktor pendorong terjadinya penggunaan obat herbal di negara maju adalah usia harapan hidup yang lebih panjang pada saat prevalensi penyakit kronik meningkat, adanya kegagalan penggunaan obat modern untuk penyakit tertentu diantaranya kanker serta semakin luas akses informasi mengenai obat herbal di seluruh dunia. Pada tahun 2000 diperkirakan penjualan obat herbal di dunia mencapai US $ 60 milyar.

WHO merekomendasi penggunaan obat tradisional termasuk obat herbal dalam pemeliharaan kesehatan masyarakat,pencegahan dan pengobatan penyakit, terutama untuk kronis, penyakit degeneratif dan kanker. Hal ini menunjukan dukungan WHO untuk back to nature yang dalam hal yang lebih menguntungkan. Untuk meningkatkan keselektifan pengobatan dan mengurangi pengaruh musim dan tempat asal tanaman terhadap efek, serta lebih dalam memudahkan standarisasi bahan obat maka zat aktif diekstraksi lalu dibuat sediaan fitofarmaka atau bahkan dimurnikan sampai diperoleh zat murni. Di Indonesia dari tahun ke tahun terjadi peningkatan produksi obat tradisional. Menurut data Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM), sampai tahun 2002 terdapat 1.012 industri obat tradisional yang memiliki izin usaha industri yang terdiri dari 105 industri berskala besar dan 907 industri berskala kecil. Karena banyaknya variasi sediaan bahan alam, maka untuk memudahkan pengawasan dan perizinan, maka badan POM mengelompokan dalam sediaan jamu, sediaan herbal terstandar dan seiaan fitofarmaka. Persyaratan ketiga sediaan berbeda yaitu untuk jamu pemakaiannya seara empirik berdasarkan pengalaman, sediaan herbal terstandar bahan bakunya harus distandarisasi dan sudah diuji farmakologi secara eksperimental, sedangkan sediaan fitofarmaka sama dengan obat modern bahan bakunya harus distandarisasi dan harus melalui uji klinik.
Dengan melihat jumlah tanaman Indonesia yang berlimpah dan baru 180 tanaman yang digunakan sebagai obat tradisional oleh industri maka peuang bagi profesi kefarmasian untuk mninkatkan peran sediaan herbal dalam pembangunan kesehatan masih terbuka lebar. Standarisasi bahan baku dan obat jadi, pembuktian efek farmakologi dan informasi tingkat keamanan obat herbal merupakan tantangan bagi farmasis agar obat herbal dapat semakin diterima oleh masyarakat luas.

PT Benka Farma Indonesia adalah salah satu perusahaan di Indonesia yang fokus pada penggunaan bahan – bahan herbal pada produknya. PT Benka Farma Indonesia selalu menjaga produk yang dihasilkan diproduksi sesuai dengan yang dipersyaratkan oleh badan POM. Produk yang dihasilkan berasal dari bahan baku yang terjamin kualitasnya

Salam

Direktur Utama

Minggu, 14 Juni 2009

Bagaimana cara membuat ekstrak yang terstandar?

Dalam pembuatan ekstrak dengan cara ekstraksi apapun, seringkali terdapat perbedaan yang signifikan antara pembuatan ekstrak batch yang satu (satu waktu pembuatan) dengan batch yang lain (waktu pembuatan yang lain). Perbedaan yang mungkin terjadi dapat secara fisika maupun kimia. Hal ini dapat menyebabkan karakteristik ekstrak yang berbeda sehingga memungkinkan khasiat ekstrak berbeda pula, akibatnya produk kita menjadi tidak memiliki standar kualitas.

Secara sederhana, hal-hal yang dapat membuat ekstrak berbeda setiap kali membuat adalah sesuai dengan hal-hal yang mempengaruhi mutu ekstrak pada materi sebelumnya, sehingga jika hal-hal yang memperngaruhi mutu ekstrak telah diperhatikan dan divalidasi (dipastikan) dengan benar, maka dapat meminimalisir perbedaan ekstrak pada setiap batch pembuatan (perbedaannya masih masuk range/batas).

Lalu apakah yang dimaksud dengan ekstrak terstandar?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut kita harus memahami istilah standardisasi ekstrak. Yang dimaksud dengan standardisasi ekstak adalah semua ukuran yang digunakan selama proses pembuatan ekstrak untuk menghasilkan produk yang reproducible (keterulangannya baik).

Standardisasi ekstrak bertujuan menghasilkan ekstrak terstandar untuk mencapai komposisi yang dipersyaratkan dari monografi ekstrak tersebut.

Upaya – upaya yang dapat dilakukan dalam mencapai tujuan tersebut misalnya teknik ekstraksi harus distandarkan sesudah diperoleh metode ekstraksi yang paling baik, standardisasi pelarut, simplisia terstandar dan hal-hal kritis lain yang berpengaruh langsung terhadap kualitas ekstrak.

Produk yang telah memiliki bahan baku dan proses yang terstandardisasi serta telah melakukan uji pra klinis produknya terhadap hewan coba, dapat meningkatkan derajat produknya dari jamu menjadi Obat Herbal Terstandar (OHT), seperti contohnya produk “Tolak Angin” PT. Sido Muncul dan “Lelap” PT. Soho. Sedangkan untuk produk jamu biasanya belum terstandarisasi dan belum diuji khasiat terhadap hewan coba
(Obat Herbal Terstandar)
(jamu)

Untuk membuat ekstrak yang terstandar, terlebih dulu kita harus merencanakan standar ekstrak seperti apa yang ingin dibuat. Oleh karena itu ekstrak harus memiliki parameter-parameter tertentu yang harus dicapai sebagai kontrol terhadap kualitas ekstrak secara fisika, kimia dan mikrobiologi.

Menurut buku Monografi Ekstrak dan Parameter Standar Ekstrak (Badan POM), parameter yang harus diujikan terhadap ekstrak sedikitnya antara lain meliputi :
A. Parameter spesifik
1.Identitas ekstrak
2.Organoleptik ekstrak
3.Senyawa terlarut dalam pelarut tertentu

B. Parameter non spesifik
1.Susut pengeringan
2.Bobot jenis
3.Kadar air
4.Kadar abu
5.Sisa pelarut
6.Residu pestisida
7.Cemaran logam berat
8.Cemaran mikroba
a.ALTB
b.MPN Coliform
c.Uji Angka kapang dan khamir
d.Uji cemaran aflatoksin

C. Uji kandungan kimia ekstrak
1.Pola kromatogram
2.Kadar total golongan kandungan kimia
3.Kadar kandungan kimia tertentu

Bila parameter tersebut telah ditetapkan nilainya, maka pada proses pembuatan ekstrak, upaya yang dilakukan adalah dalam rangka mencapai nilai-nilai minimal dari setiap parameter tersebut.

Sayangnya, hal tersebut mungkin hanya dapat dilakukan oleh perusahaan obat tradisional yang telah maju, sedangkan bagi industri kecil obat tradisional, hal tersebut masih sulit untuk dilakukan, sehingga produk mereka masih memungkinkan perbedaan dalam setiap proses pembuatannya. Akan tetapi industri kecil juga terus mengupayakan pembuatan produk yang konstan dan memiliki mutu yang terstandar, karena mereka juga tidak ingin produknya mutunya berubah-ubah. Cara yang dilakukan mungkin dengan bantuan laboratorium pengujian lain untuk mengetahui nilai-nilai parameter ekstrak mereka. Laboratorium yang dimaksud antara lain Lab PPOM Badan POM, Sucofindo, Sarawanti, dan laboratoirum lain yang diakui dan terakreditasi.
Banyak hal lain yang berkaitan dengan upaya mendapatkan ekstrak terstandar, namun materi dicukupkan dulu sampai disini, dan akan dilanjutkan dengan materi lain yang masih berhubungan dengan ekstrak herbal.

Salam
R&D Manajer

Sabtu, 13 Juni 2009

Apakah yang dimaksud dengan Ekstrak?

Slide 4

Dalam bisnis obat tradisional atau jamu-jamuan, sering kita dengar istilah “ekstrask”, atau pada label produk jamu tertulis”mengandung ekstrak herbal…”. Istilah ekstrak oleh masyarakat awan diartikan sebagai sari-sari dari tanaman yang dengan cara tertentu dipisahkan dari ampasnya., dengan demikian mereka mengasumsikan bahwa sari-sari tersebut hanya mengandung zat yang memiliki khasiat, sedangkan ampasnya biasanya dibuang karena dianggap sudah tidak memiliki manfaat.


Menurut Farmakope Indonesia Edisi III, yang dimaksud dengan ekstrak adalah:

“Sediaan kental yang diperoleh dengan menyari senyawa aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan”.

Secara sederhana definisi FI dapat diartikan bahwa ekstrak adalah produk dari simplisia yang diperoleh dengan menyari (dengan cara penyarian tertentu) simplisia dengan pelarut cair dan dilanjutkan dengan dikentalkan atau dikeringkan.

Walaupun FI menyebut bahwa ekstrak merupakan bentuk sediaan kental, namun berdasarkan konsistensinya, ekstrak dapat dibagi menjadi 3 bentuk, yaitu :

  1. Cair : Ekstrak cair, tingtur, maserat minyak (Extracta Fluida (Liquida)
  2. Semi solid : Ekstrak kental (Extracta spissa)
  3. Kering : Ekstrak kering (Extracta sicca)

Ekstrak cair biasanya masih mengandung sejumlah pelarut tertentu (kadar air > 20%, ekstrak kental, merupakan ekstrak yang pelarutnya telah diuapkan sampai batas tertentu (kadar air > 10-20%, bahkan 30%), sedangkan ekstrak kering adalah ekstrak yang ditambahkan serbuk pengisi, seperti, laktosa, avicel, maltodekstrin, amilum atau bahan pengisi lain yang inert dengan perbandingan tertentu, kemudian dikeringkan dalam lemari pengering (oven). Ekstrak kering juga dapat diperoleh dengan menguapkan seluruh pelarut yang digunakan pada saat penyarian, hingga benar-benar kering menhhasilkan massa berupa serbuk, tetapi cara seperti ini jarang digunakan pada skala industri, karena lamanya proses pengeringan dan khawatir merusak zat aktif dari ekstrak.

Produk ekstrak yang dihasilkan dengan menambahkan serbuk pengisi, pelarut pengental seperti gliserin, propilenglikol, atau pelarut cair lain (etanol, air) dinamakan Ekstrak Non Alami (Non native Herbal Drugs Preparation), sedangkan ekstrak yang tidak mengandung pelarut atau bahan tambahan lain dinamakan ekstrak murni (Native Herbal Drugs Preparation)

Kualitas ekstrak sangat mempengaruhi produk jamu atau produk ekstrak yang dibuat, oleh karena itu, beberapa produsen yang menggunakan simplisia yang sama dalam produknya, dapat menghasilkan produk jamu dengan kulaitas yang berbeda.

Menurut buku Parameter Standar Ekstra (Badan POM), mutu ekstrak dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu faktor biologi dan faktor kimia.

Faktor biologi yang dimaksud antara lain : identitas jenis (species), lokasi tumbuhan asal, periode pemanenan hasil tumbuhan, penyimpanan bahan tumbuhan, umur tumbuhan dan bagian yang digunakan, sedangkan faktor kimia yang mempengaruhi ekstrak meliputi faktor internal, antara lain: jenis senyawa aktif dalam bahan, komposisi kualitatif senyawa aktif, komposisi kuantitatif senyawa aktif, dan kadar total rata-rata senyawa aktif., sedangkan factor kimia eksternal yang mempengaruhi mutu ekstrak antara lain: metode ekstraksi (metode penyarian) yang digunakan, ukuran alat ekstraksi, ukuran, kekerasan dan kekeringan bahan (simplisia) yang digunakan, pelarut, kandungan logam berat dan kandungan pestisida dari simplisia.

Banyak hal lain yang berkaitan dengan ekstrak, namun materi dicukupkan dulu sampai disini, dan akan dilanjutkan dengan materi lain yang masih berhubungan dengan ekstrak herbal.


Salam

R&D Manajer

.